Ketika menulis bagian ini, saya teringat dengan ilustrasi cerita perlombaan katak yang saya tulis di salah satu buku saya beberapa tahun yang lalu. Ceritanya begini, pada suatu hari berkumpul panitia dari bangsa katak yang berencana membuat suatu perlombaan lompat katak yang paling jauh. Acara disusun dengan sangat rapih. Surat undangan dibuat dan dikirimkan ke seluruh bangsa katak. Umbul-umbul warna warni dipasang untuk memeriahkan suasana. Arena untuk menonton perlombaan sudah disiapkan dengan tertib. Tibalah pada hari di mana perlombaan diadakan.
Ternyata salah satu peserta yang mendaftar adalah seekor katak yang kurus kerempeng yang penyakitan. Terjadilah bisik-bisik di antara sesama katak peserta lomba. Mereka mulai menyaksikan apakah katak kerempeng itu bisa sampai ke tujuan. Saat aba-aba diberikan dan seluruh katak mulai melompat, katak kerempeng itu mulai melompat sekuat tenaga. Dia mulai melompat, melompat dan terus melompat. Medan yang dilewati para peserta lomba sangat berat. Mereka menuruni lembah, berenang di sungai yang banyak hewan buas, menaiki bebatuan yang tajam dan melewati lumpur yang kotor.
Di luar arena, para penonton pesimis dengan kemampuan para peserta lomba terlebih lagi pada si katak kerempeng ini. Hingga menjelang berakhirnya lomba, penonton melihat peserta lomba mulai berdatangan, tetapi jumlah mereka sudah berkurang. Menandakan banyak katak yang akhirnya menyerah kalah di tengah perlombaan. Di antara beberapa peserta lomba, penonton melihat si katak kerempeng dan mulai ramai bersorak “Menyerahlah kau, katak kerempeng! Kau tidak akan mungkin menang!”. Sebagian kerabat katak yang lain kasihan dan menyayangkan mengapa katak kerempeng itu tidak mendengarkan teriakan mereka untuk mundur saja dari perlombaan. Mereka tidak tega melihat katak kerempeng itu kalah dan di-bully habis-habisan. Saat katak-katak lain sudah mulai mengurangi kecepatan melompat karena lelahnya, si katak kerempeng terus melompat dan makin jauh melompat. Hingga tepat di garis finish, si katak terus saja melompat melampaui peserta yang lain. Semua penonton bersorak sorai. Ada yang ikut menyerukan kegembiraan, ada yang mulai berteriak untuk menyuruhnya berhenti dan ada pula yang menertawakannya. Akhirnya katak kerempeng itu pun berhenti setelah hampir menabrak pohon jati bongsor. Semua penonton berlari berhamburan ke arah sang katak. Mereka sibuk memberi ucapan selamat pada katak kerempeng, sang juara. Saat seekor peserta bertanya, apa yang menyebabkannya terus melompat dan mengabaikan tepukan dari penonton. Si katak kerempeng hanya terdiam dan menyampaikannya dengan gerakan tangan “Aku-tidak-dapat-mendengar.”
Katak kerempeng tersebut TULI!
Terkadang, saat kita mulai membangun mimpi, lalu tiba-tiba orang-orang terdekat, sahabat, kerabat berkomentar bahwa kita hanya sekadar bermimpi atau panjang angan-angan. Sabar, sabar, doa orang yang terdzalimi makbul. Saat kita menghadapi situasi seperti ini, ada 3 hal yang bisa kita lakukan dalam pendekatan Emotional regulation- Dialectical Behavior Therapy (Linehan, Marsha 2015)
Pertama adalah Understanding. Kita memahami bahwa dunia belum tahu siapa kita. Pada tahapan ini, coba praktek untuk “menulikan” telinga seperti si katak dalam cerita. Seperti peribahasa “Biarkanlah anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Fokus saja pada kelebihan yang kita miliki, sambil gembleng menjadi aksi nyata yang berguna. Berkumpulah dengan komunitas yang mengalirkan energi positif. Toh, dunia ini seimbang, tidak hanya berisi orang-orang yang bermental pecundang, tapi juga orang-orang yang bermental pemenang.
Kedua Reducing. Turunkan tensi yang muncul dan mulai cari alasan lain yang lebih positif. Tips singkat saat menerima cemoohan, adalah dengan praktek mindful breathing. Diamlah sejenak. Jangan langsung bereaksi untuk membalas. Tarik napas dan aturlah respon dengan mendengarkan pesan dari lawan bicara bagian mana pada diri kita yang harus diperbaiki. Alihkan fungsi kritikan spontan dari para sahabat ini menjadi “blindspotter’, yang secara sukarela memberi tahu bagian mana dari diri kita yang masih harus diperbaiki. Anggap saja coaching gratis. Daripada membayar mahal untuk setiap feedback dari seorang coach, lebih baik ucapkan terima kasih secara jujur pada orang yang men-feedback, mengkritik atau mencemooh kita. Kalau perlu berilah hadiah ‘kejutan’ yang cantik. Karena dari kritikan merekalah kita jadi tahu bagian mana dari diri kita yang harus diperbaiki.
Ketiga, Changing. Ubahlah perilaku kita. Ubahlah energi cemoohan tadi menjadi tepuk tangan. Ubahlah rasa sangsi menjadi motivasi yang lebih seksi. Ubahlah cela menjadi cinta. Mengubah kritikan menjadi sanjungan.
So, keep Calm and Stay Cool! Jagoan biasanya muncul belakangan.