By Lina Melinda Kusumawaty, M.Psi, Psikolog
Pada sebuah perjalanan mengunjungi seorang rekan di kota Yogya beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk berbincang dengan putra rekan saya yang saat ini tengah bekerja sebagai staf di salah satu kantor pemerintahan di kota itu. Dari obrolan tersebut rupayanya anak rekan saya ini penasaran, apa sebenarnya yang dilakukan seorang asesor saat melakukan penilaian karyawan. Dia men challenge saya dengan pertanyaan singkat.
“Mbak, apa benar hasil yang diperoleh dari penilaian psikologis itu bisa menggambarkan profil seseorang? Kalau iya, gimana caranya asesor bekerja hingga bisa menentukan orang ini cocok atau tidak dengan pekerjaannya?”
Saya terdiam, mencoba untuk mengingat-ingat kembali pertanyaan yang seringkali diajukan oleh peserta di beberapa seminar karir yang saya fasilitasi. Jujur, pertanyaan ini kerap ditanyakan oleh kebanyakan orang awam yang merasa belum yakin dengan kompetensi seorang asesor dalam melakukan penilaian psikologis seseorang. Dan untuk alasan itu, saya merasa terdorong untuk menjelaskan bagaimana pendekatan yang digunakan seorang asesor pada sebuah aktivitas asesmen/penilaian. Saya menjawab pertanyaan putra rekan saya itu dengan sebuah analogi.
“Jika potensi yang dimiliki manusia, termasuk kapasitas berpikir, kepribadian, sikap kerja, preferensi sosial, dan minat terhadap suatu pekerjaan digambarkan sebagai sebuah ember, maka ember itu bisa saja bervolume besar, sedang atau kecil. Ember yang besar akan mampu menampung volume dengan jumlah besar dan sebaliknya jika embernya kecil, maka kemungkinan volume yang dapat mengisinya juga kecil. Untuk mengetahui daya tampung ember ini, tentu perlu suatu alat ukur yang dapat mengukurnya dengan tepat, misalnya labu ukur, gelas ukur, silinder ukur, meteran atau bahkan software untuk menghitung volume objek 3D. Untuk mendapatkan validitas (nilai ketepatan) volume ember ini, terkadang dibutuhkan lebih dari 1 alat ukur agar dapat diperoleh koherensi data satu sama lain hingga diperoleh nilai tampung ember yang ajeg (reliable)”. Sampai pada penjelasan ini, putra rekan saya itu terdiam. Saya lanjutkan dengan meneruskan analoginya.
“Begitu pula potensi yang dimiliki manusia, seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan terutama ilmu psikologi yang mendalami perilaku manusia. Untuk sampai pada penjelasan seberapa besar potensi psikologis seseorang, maka dibutuhkan alat ukur yang relevan seperti tes kepribadian, tes kecerdasan, tes minat dan bakat, wawancara hingga observasi terhadap perilaku yang menggambarkan seseorang ketika menghadapi sebuah situasi hingga terlihat pola perilaku yang dapat memberikan prediksi perilaku seseorang di masa depan. Dengan ragam tes yang digunakan, diharapkan seorang asesor dapat menggambarkan potensi seseorang dan bagaimana hal tersebut dapat memprediksi perilaku tersebut untuk tampil (kembali) saat berhadapan dengan situasi kerja yang sama atau mirip”. Anak rekan saya masih asyik mendengarkan. Kepalanya mengangguk-angguk mulai paham.
“Untuk melihat potensi seseorang yang dibutuhkan organisasi dalam proses memilih calon karyawan supaya mendekati standar/sesuai dengan kriteria calon karyawan, pengukuran terhadap potensi ini sebenarnya sudah cukup. Dengan ragam tes yang dilakukan, hasil penilaian potensi psikologis ini pada dasarnya dapat memprediksi sejauh mana seseorang akan menampilkan potensi yang dimiliki dalam pekerjaan yang sebenarnya. Namun, terkadang kebutuhan organisasi tidak berhenti sampai di proses penilaian aspek psikologis saja. Hari ini kesadaran organisasi untuk bisa melihat aktualisasi dari potensi yang dimiliki seseorang terhadap tuntutan pekerjaan menjadi lebih dalam. Organisasi menuntut bukti lebih untuk melihat contoh perilaku di masa lampau dapat tampil juga pada situasi kerja di masa yang akan datang. Untuk menjawab kebutuhan inilah, muncul pengukuran terhadap kemampuan seseorang yang menunjukkan apakah ia kompeten atau tidak kompeten dalam mengerjakan pekerjaannya. Pada titik inilah pengukuran kompetensi harus dilakukan. Dengan alat ukur yang lebih beragam dan jumlah penilai/asesor yang lebih banyak, harapannya hasil pengukuran perilaku ini dapat lebih prediktif dalam menilai karyawan yang benar-benar terbukti kompeten dan mampu berkontribusi bagi organisasi. “
Saya lanjutkan, “ Jika di awal cerita tadi, potensi manusia itu dianalogikan sebagai sebuah ember yang bervolume, selanjutnya pengukuran terhadap kompetensi dianalogikan sebagai bak mandi. Tantangannya adalah bagaimana dengan volume ember yang ada dapat digunakan secara optimal untuk mengisi bak mandi sesuai dengan tuntutan volume dan waktu pengisian tertentu. Jika kapasitas ember dengan ukuran kecil sesuai dengan volume bak mandi berukuran kecil dan waktu pengisian yang kecepatannya rendah, maka dikatakan ember tersebut berada dalam posisi yang fit atau optimal. Sebaliknya jika dengan kapasitas ember tersebut kecil, namun kebutuhan untuk mengisi bak airnya besar dan diperlukan waktu cepat untuk mengisinya, dapat dibayangkan bagaimana kesulitan yang dihadapi si ember untuk memenuhi tuntutan itu. Pada posisi seperti ini ember dikatakan belum fit memenuhi tuntutan bak air”.
Sampai di sini, saya diam sejenak, memastikan lawan bicara saya mampu memahami penjelasan saya ini. “ Nah, Sekarang bagaimana jika analogi ini digunakan untuk menjelaskan potensi psikologis dan kompetensi seseorang di pekerjaan? Ya, benar! JIka potensi psikologis yang dimiliki seseorang rendah, misal kurang mampu berpikir analisis, kesulitan untuk mencari hubungan persoalan dengan solusinya, kurang percaya diri, daya tahan rendah ketika menghadapi tekanan, minat sosial yang kurang dan kaku ketika membangun relasi dengan orang, apakah dengan kualitas potensi ini dapat memenuhi tuntutan pekerjaan bagi orang yang bekerja di bidang humas? Sementara kamu tahu pekerjaan di bagian humas/public relation menuntut karyawannya tidak hanya percaya diri, tahan banting, mampu mempersuasi tetapi juga mampu menganalisis data saat memberi pertimbangan teknis bagi pimpinannya.”
Sampai disini, putra rekan saya terdiam. Terlihat dia mulai mengukur dirinya yang saat ini bekerja sebagai humas di kantor pemerintahan. Sebagai penutup obrolan saya ini, saya men-challenge otak kritisnya. “Jika saat ini potensimu berhasil diukur dan kamu mengerjakan tugas yang tidak sesuai dengan kapasitasmu, mungkin pekerjaan itu terlalu sederhana, terlalu kompleks atau tidak berhubungan sama sekali. Kira-kira bagaimana rasanya? “
Dan lawan bicara saya pun mulai menanggapi , “ Hm…Boleh jadi semangat kerja saya jadi kendor, kinerja saya makin merosot, saya jadi sering bawa masalah kantor ke rumah dan sebaliknya. Lalu hubungan saya dengan pasangan jadi tidak beres …dan wah..wah…. mental health saya jadi terganggu, Mbak.”
Saya tersenyum dan mengangguk membenarkan, “Yes, kalau sudah ada salah satunya ada dalam dirimu, boleh jadi masalah yang kamu hadapi itu sedang memberi sinyal bahwa ada bagian dari potensi diri yang belum bertemu dengan wadah pekerjaan yang sesuai. Untuk itu, alih-alih membiarkan diri makin down dan berdampak pada pekerjaan di masa depan, lebih baik jeda sejenak dan evaluasi apakah kamu sudah jujur dan optimal menampilkan potensimu untuk pekerjaan ini? Apakah memungkinkan untukmu mengajukan pengembangan diri lain sehingga kamu bisa menampilkan kinerja secara maksimal? Adakah ada sumber-sumber dukungan lain yang dapat membantumu mengoptimalkan potensi yang dimiliki?” saya menutupnya dengan pertanyaan socratic.
Tanpa terasa obrolan saya terhenti. Saya biarkan dia memproses pertanyaan-pertanyaan saya. Sambil tak lupa mengucapkan terimakasih untuk tumpangannya, saya pun tiba di titik kumpul tempat saya bersiap melanjutkan perjalanan berikutnya.